Keragaman suku bangsa yang tersebar
di Nusantara merupakan kondisi objektif yang penting dan sangat berpengaruh
dalam keseluruhan proses penyebaran dan pembentukan tradisi Islam di Indonesia.
Perbedaan suku bangsa itu tidak hanya menyangkut perbedaan bahasa, adat
istiadat, dan sistem sosio-kultural pada umumnya, tetapi juga perbedaan
orientasi nilai yang menyangkut sistem keyakinan dan keragaman masyarakat.
1) Teori Gujarat
Wujud akulturasi antara kebudayaan Indonesia dengan kebudayaan islam antara lain sebagai berikut:
Setiap
suku bangsa, selain memiliki kepercayaan lokal masing-masing, juga memiliki
sistem pengetahuan dan cara pandang yang berbeda satu dengan yang lainnya.
Masuknya unsur baru dalam kehidupan tentu saja mendapat reaksi yang
berbeda-beda. Adanya hukum adat yang terbentuk dari tradisi sosial budaya
masyarakat setempat merupakan bentuk paling jelas dari institusi lokal yang
mengatur tatanan masyarakat.
I. KEBUDAYAAN
HINDU-BUDHA
1. Agama Hindu dan
Kebudayaannya
Agama Hindu diyakini tumbuh di India sekitar 1500
SM. Dari India, agama ini menyebar ke seluruh dunia dan banyak mempengaruhi
kebudayaan-kebudayaan besar dunia. Agama Hindu tumbuh bersamaan dengan
kedatangan bangsa Arya ke kota Mohenjo-Daro (Larkana)
dan Harappa (Punjab)sekitar tahun 1500 SM.
Mereka datang melalui celah
Kaiber dan mendesak bangsa Dravida dan Munda yang telah mendiami
daerah tersebut. Orang-orang Arya membangun sistem kepercayaan dan
kemasyarakatan sesuai tradisi yang mereka miliki. Orang Arya memuja
banyak Dewa yang dipercayai memiliki kuasa atas segi-segi tertentu
kehidupan makhluk hidup.
Pemujaan terhadap para Dewa dipimpin
oleh golongan Brahmana atau Pendeta. Para Brahmana juga menulis berbagai ajaran
dan ritus-ritus sebagai pedoman dalam melaksanakan upacara keagamaan.
Tulisan-tulisan tersebut disatukan dalam Kitab Veda. Kitab Veda terdiri
dari empat bagian yaitu:
1) Reg-Veda, merupakan kitab tertua dan ditulis diantara tahun 1500 dan
900 SM
2) Yajur-Veda, berisi pedoman pengorbanan
3) Sama-Veda, berisi pedoman zikir dan puji-pujian
4) Atharva-Veda, kumpulan mantra-mantra gaib
Dalam agama Hindu, terdapat
pembagian kasta masyarakat berdasarkan pembagian tugas atau pekerjaan.
Kasta tersebut dari tertinggi adalah :
1) Brahmana, mengurus kehidupan keagamaan
2) Ksatria, berkewajiban menjalankan pemerintahan
termasuk pertahanan negara
3) Waisya, berdagang, bertani dan berternak
4) Sudra, pekerja atau pelayan
Dalam perkembangan selanjutnya,
terjadi perpaduan antara budaya Arya, budaya Dravida, dan budaya Munda yang
kemudian disebut Kebudayaan Hindu (Hinduisme). Daerah perkembangan pertamanya
terdapat di lembah Sungai Gangga, yang disebut Aryavarta (Negeri Bangsa
Arya) dan Hindustan (Tanah Milik Bangsa Hindu).
Pada awal abad ke-3 dan ke-4 masehi,
agama Hindu masuk ke indonesia khususnya ke pulau jawa. Perpaduan antara
kebudayaan setempat dengan kebudayaan Hindu yang berasal dari India berlangsung
dengan mantap.
A. Penyiaran Agama Hindu di
Indonesia.
Proses masuknya agama Hindu di
Indonesia dibawa oleh kaum pedagang, baik pedagang India yang datang ke
Indonesia maupun pedagang dari wilayah Indonesia yang berlayar ke India. Akan
tetapi, di lain pihak terdapat beberapa teori yang berbeda tentang penyebaran
agama Hindu ke Indonesia. Pendapat atau teori tersebut di antarannya :
1) Teori Sudra, menyatakan bahwa penyebaran agama Hindu
ke Indonesia dibawa oleh orang-orang India yang berkasta Sudra, karena mereka
dianggap sebagai orang-orang buangan.
2) Teori Waisya, menyatakan bahwa penyebaran agama Hindu ke Indonesia
dibawa oleh orang-orang India berkasta Waisya, karena mereka terdiri atas para
pedagang yang datang dan kemudian menetap di salah satu wilayah di Indonesia.
Bahkan banyak di antara pedagang itu yang menikah dengan wanita setempat.
3) Teori Ksatria, menyatakan bahwa penyebaran agama Hindu ke Indonesia
dibawa oleh orang-orang India berkasta Ksatria. Hal ini disebabkan terjadi
kekacauan politik di India, sehingga para Ksatria yang kalah melarikan diri ke
Indonesia. Mereka lalu mendirikan kerajaan-kerajaan dan menyebarkan agama
Hindu.
4) Teori Brahmana, menyatakan bahwa penyebaran agama Hindu dilakukan oleh
kaum Brahmana. Kedatangan mereka ke Indonesia untuk memenuhi undangan kepala
suku yang tertarik dengan agama Hindu. Kaum Brahmana yang datang ke Indonesia
inilah yang mengajarkan agama Hindu ke masyarakat.
Dari keempat teori tersebut, hanya
teori Brahmana yang dianggap sesuai dengan bukti-bukti yang ada. Bukti-bukti
tersebut diantaranya :
1) Agama Hindu bukan agama yang demokratis, karena
urusan keagamaan menjadi monopoli kaum Brahmana, sehingga hanya golongan
Brahmana yang berhak dan mampu menyiarkan agama Hindu.
2) Prasasti yang pertama kali ditemukan berbahasa Sansekerta,
sedangkan di India bahasa itu hanya digunakan dalam kitab suci dan upacara
keagamaan. Jadi, hanya kaum Brahmana-lah yang mengerti dan menguasai penggunaan
bahasa tersebut.
2. Agama dan Kebudayaan Budha
Agama Buddha pertama kali tumbuh di
India, tepatnya di India bagian timur laut sekitar tahun 500 SM. Diajarkan oleh
Siddharta Gautama yang dikenal sebagai Buddha (seorang yang telah mendapatkan
pencerahan) Agama Buddha muncul sebagai reaksi terhadap golongan Brahmana dalam
ritual keagamaan.
Keseluruhan ajaran agama Buddha
dibukukan dalam Kitab Tripitaka, yang terdiri dari tiga kumpulan tulisan, yaitu
:
1) Sutta (Suttanata) Pitaka, kumpulan khotbah
2) Vinaya Pitaka, aturan-aturan yang berkaitan dengan kehidupan pendeta
3) Abhidharma Pitaka, berisi filosofi, psikologi, klasifikasi dan sistemasi
doktrin.
Dalam perkembangannya, agama Buddha
pecah menjadi aliran, yaitu:
1) Aliran Hinayana, mengajarkan bahwa untuk mencapai nirwana sangat tergantung
kepada usaha diri sendiri
melakukan meditasi.
2) Aliran Mahayana mengajarkan bahwa untuk mencapai nirwana, setiap orang
harus mengembangkan kebijaksanaan dan sifat welas asih (belas kasih)
Perkembangan agama Buddha di India
mencapai puncak kejayaan pada masa pemerintahan Raja
Ashoka dari Dinasti Maurya (273-232 SM). Pada pemerintahan-nya,
Raja Ashoka menetapkan agama Buddha sebagai agama resmi negara. Agama Buddha
kemudian dengan cepat berkembang dan diterima oleh masyarakat India. Hal ini
terutama disebabkan oleh bahasa yang digunakan Buddha dalam penyampaian
ajarannya, yaitu Bahasa Parkit (bahasa yang digunakan rakyat sehari-hari),
bukan bahasa Sansekerta yang hanya dimengerti oleh kaum Brahmana.
Selain itu, agama Buddha bersifat
non-eksklusif. Artinya, agama Buddha bisa diterima siapa saja dan tidak
mengenal pembagian masyarakat atas kasta-kasta. Agama Buddha juga tidak
mengenal perbedaan hak antara pria dan wanita.
Sekitar abad ke-5, ajaran Budha atau
budhisme masuk ke wilayah Indonesia, khususnya ke dalam pulau jawa.
Agama/ajaran budha dapat dikatakan berpandangan lebih maju dari pada hinduisme,
sebab dalam ajaran budhisme tidak mengenal adanya kasta-kasta dalam kehidupan
masyarakat.
A.
Penyiaran
Agama Buddha di Indonesia
Agama Buddha masuk ke Indonesia
dibawa oleh para biksu. Antara lain seorang biksu dari Kashmir bernama Gunawarman
datang ke Indonesia sekitar tahun 240. Gunawarman adalah seorang biksu Buddha
Hinayana. Pada tahun-tahun berikutnya, para biksu Buddha dari Perguruan Tinggi
Nalanda (Benggala, India) pun datang ke Indonesia. Makin lama pengaruh Buddha
makin berkembang di Indonesia.Penyiaran agama Buddha di Indonesia lebih awal
dari agama Hindu. Dalam penyebarannya agama Buddha mengenal adanya misi penyiar
agama yang disebut, Dharmadhuta. Tersiarnya agama Buddha di Indonesia,
diperkirakan sejak abad ke-2 Masehi, dibuktikan dengan penemuan Arca Buddha
dari perunggu di Jember, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan. Arca-arca itu
berlanggam Amarawati. Namun, belum diketahui siapa pembawanya dari India
Selatan ke Indonesia. Di samping itu, juga ditemukan arca Buddha dari batu di
Palembang.
B.
Perkembangan
Kebudayaan Hindu-Buddha di Indonesia
Telah banyak yang mengetahui bahwa
sebelum masuknya pengaruh kebudayaan Hindu-Budha, masyarakat Indonesia telah
memiliki kebudayaan yang telah tumbuh dan berkembang dalam masyarakat.
Kebudayaan asli masyarakat Indonesia tersebut sudah cukup maju. Masuknya budaya
Hindu-Budha membawa perubahan dalam kehidupan budaya masyarakat Indonesia.
Unsur kebudayaan Hindu-Budha yang masuk ke Indonesia lambat laun diterima dan
diolah ke dalam kebudayaan Indonesia, tetapi tanpa menghilangkan sifat
kebudayaan asli Indonesia. Dengan demikian, lahirlah kebudayaan baru yang
merupakan akulturasi kebudayaan Indonesia dan Hindu-Budha.
Wujud akulturasi antara kebudayaan
Indonesia dengan kebudayaan Hindu-Budha
tersebut, antara lain sebagai berikut:
1.
Sistem
Keperayaan
Sejak zaman prasejarah bangsa Indonesia
telah memiliki kepercayaan berupa pemujaan terhadap roh nenek moyang dan juga
kepercayaan terhadap benda-benda tertentu. Kepercayaan itu disebut animism dan
dinamisme. Dengan masuknya kebudayaan Hindu-Budha ke Indonesia, terjadilah
akulturasi. Sebagai contoh, dalam upacara keagamaan atau pemujaan terhadap para
dewa di candi, terlihat pula adanya unsur pemujaan terhadap roh nenek moyang.
Dalam bangunan candi terdapat pripih yang di dalamnya terdapat benda-benda
lambang jasmaniah raja yang membangun candi. Sehingga candi berfungsi sebagai
makam. Di atas pripih terdapat arca dewa yang merupakan perwujudan raja dan
pada puncak candi terdapat lambang para dewa (biasanya berupa gambar teratai
pada batu persegi empat). Jadi, upacara keagamaan atau pemujaan terhadap dewa
yang ada pada candi tersebut pada hakekatnya juga merupakan pemujaan terhadap
roh nenek moyang, dan di situlah letak akulturasinya. Dengan nama yang lain
tetapi esensinya adalah pemujaan terhadap roh nenek moyang.
2.
Filsafat (maknanya secara sederhana alam pikiran, berpikir secara
mendalam).
Wujud akulturasi Indonesia dan
Hindu—Budha di bidang filsafat dapat ditemukan dalam cerita wayang. Isi cerita
tersebut mengandung nilai filosofis, yaitu bahwa kebenaran dan kejujura akan
berakhir dengan kebahagiaan dan kemenangan. Sebaliknya, keserakahan dan
kecurangan akan berakhir dengan kehancuran.
3. Pemerintahan
Sebelum masuknya pengaruh budaya
Hindu-Budha, pemerintahan di Indonesia berlangsung secara demokratis, yaitu
untuk menentukan seorang pemimpin (kepala suku) dilakukan melalui pemilihan.
Setelah masuknya budaya Hindu-Budha dikenal sistem pemerintahan kerajaan yang
tidak lagi dipilih secara demokratis, tetapi secara turun temurun. Namun, dalam
perkembangannya sifat pemerintahan demokratis tetap menampakkan kembali ciri
khasnya. Pemerintah kerajaan tetap menerapkan musyawarah dalam mengambil
keputusan. Kekuasaan raja tidak bersifat mutlak seperti di India. Dalam
pergantian raja tidak selalu dilakukan secara turun-temurun. Unsur musyawarah
sangat menentukan, terutama bila raja tidak mempunyai putra mahkota.
4. Seni Bangunan
Masuknya pengaruh Hindu-Budha ke
Indonesia membawa pengaruh terhadap seni bangunan, terutama bangunan candi.
Jika dilihat dari bentuknya, bangunan candi selalu bertingkat-tingkat yang
terdiri atas kaki candi, tubuh candi, dan puncak candi. Pada candi Hindu
ditemukan pripih yang berisikan lambang jasmaniah raja (yang membuat candi),
kemudian di atasnya terdapat patung dewa dan pada puncaknya terdapat lambang
para dewa. Dengan demikian, jika dilihat dari bentuk bangunannya candi akan
mengingatkan kita pada bangunan punden berundak. Oleh karena itu, pada candi
ditemukan unsur Indonesia dan unsur Hindu-Budha.
5. Seni Rupa
Masuknya kebudayan Hindu-Budha
berpengaruh terhadap perkembangan seni rupa di Indonseia. Contoh, seni hias
yang berupa relief pada dinding candi di Indonesia menunjukkan adanya
akulturasi antara budaya Indonesia dan Hindu-Budha. Hiasan relief pada candi
biasanya merupakan suatu cerita yang berhubungan dengan agama.
6. Seni Sastra
Pengaruh seni sastra India juga
turut memberi corak dalam seni sastra Indonesia. Bahasa Sansekerta besar
pengaruhnya terhadab sastra Indonesia. Prasasti di Indonesia, seperti Kutai, Tarumanegara,
dan prasasti di Jawa tengah pada umumnya ditulis dalam bahasa sansekerta dan
huruf pallawa. Dalam perkembangan bahasa Indonesia dewasa ini, pengaruh bahasa
sansekerta cukup dominan, terutama dalam istilah pemerintahan. Seperti
kata-kata patih lebet (sebuah jabatan yang mengkordinasi pemerintahan dalam
istana). Pada masa Sultan Agung Titayasa di Banten, patih lebet dijabat oleh
Adipati Mandaraka.
7. Sistem Kalender
Sistem penanggalan (kalender)
Hindu-Budha turut berpengaruh dalam kebudayaan Indonesia, yaitu digunakannya
kalender Saka di Indonesia, juga ditemukan candrasangkala dalam usaha
memperingati suatu peristiwa dengan tahun atau kalender Saka. Tahun Saka
dimulai tahun 78 M. Kalender Saka merupakan kalender dari India yang digunakan
di Indonesia. Penggunaan kalender Saka ditemukan dalam prasasti Talang Tuo
(adalah prasasti yang menjelaskan mengenai keberadaan Kerajaan Sriwijaya di
Sumatra) yang berangka tahun 606 Saka (686 M). Prasasti tersebut menggunakan
huruf pallawa dan bahasa melayu kuno. Dua contoh prasasti tersebut merupakan
wujud akulturasi kebudayaan Indonesia dan Hindu-Budha.
II. KEBUDAYAAN ISLAM
Pada abad ke-15 dan ke-16, agama
Islam telah dikembangkan di Indonesia, oleh para pemuka-pemuka Islam yang
disebut wali sanga. Titik sentral penyebaran agama islam pada abad itu berada
di pulau jawa yang sebenarnya masuk ke Indonesia khususnya ke pulau jawa jauh
sebelum abad ke -15. suatu bukti bahwa awal abad ke-11 sudah ada wanita Islam
yang meninggal dan dimakamkan di Kota Gresik.
Pada abad ke-15,berkembanglah
negara-negara pantai, adalah negara Malaka di semenanjung Malaka, negara Aceh
di ujung pulau Sumatra, negara Banten di jawa Barat, negara Demak di
pesisir utara jawa tengah, negara Goa di sulawesi selatan. Dalam proses perkembangannya
negara tersebut yang dikendalikan oleh pedagang-pedagang kaya dan golongan
bangsawan kota-kota pelabuhan, dan telah menganut ajaran Islam.
Didaerah-daerah yang belum amat
terpengaruh oleh kebudayaan Hindu, agama Islam mempunyai pengaruh yang mendalam
dalam kehidupan penduduk di daerah yang bersangkutan. misalnya di Aceh, Banten,
sulawesi selatan, sumatra Timur, sumatra barat, dan pesisir kalimantan.
A. Proses Masuk dan
Berkembangnya Agama dan Kebudayaan Islam di indonesia
Proses masuk dan berkembangnya agama
Islam di Indonesia menurut Ahmad Mansur Suryanegara dalam bukunya yang berjudul
Menemukan Sejarah, terdapat 3 teori yaitu teori Gujarat, teori Makkah dan teori
Persia. Ketiga teori tersebut di atas memberikan jawaban tentang permasalah waktu
masuknya Islam ke Indonesia, asal negara dan tentang pelaku penyebar atau
pembawa agama Islam ke Nusantara.
Untuk mengetahui lebih jauh dari
teori-teori tersebut, silahkan Anda simak uraian materi berikut ini.
1) Teori Gujarat
Teori berpendapat bahwa agama Islam masuk ke Indonesia pada abad 13 dan
pembawanya berasal dari Gujarat (Cambay), India. Dasar dari teori ini adalah:
a. Kurangnya fakta yang menjelaskan peranan bangsa Arab dalam penyebaran Islam di Indonesia.
a. Kurangnya fakta yang menjelaskan peranan bangsa Arab dalam penyebaran Islam di Indonesia.
b. Hubungan dagang Indonesia dengan India telah lama melalui
jalur Indonesia – Cambay – Timur Tengah – Eropa.
c. Adanya batu nisan Sultan Samudra Pasai yaitu Malik Al Saleh
tahun 1297 yang bercorak khas Gujarat.
Pendukung teori Gujarat adalah
Snouck Hurgronye, WF Stutterheim dan Bernard H.M. Vlekke. Para ahli yang
mendukung teori Gujarat, lebih memusatkan perhatiannya pada saat timbulnya
kekuasaan politik Islam yaitu adanya kerajaan Samudra Pasai. Hal ini juga
bersumber dari keterangan Marcopolo dari Venesia (Italia) yang pernah singgah
di Perlak ( Perureula) tahun 1292. Ia menceritakan bahwa di Perlak sudah banyak
penduduk yang memeluk Islam dan banyak pedagang Islam dari India yang
menyebarkan ajaran Islam.
2) Teori Makkah
Teori ini merupakan teori baru yang muncul sebagai sanggahan terhadap
teori lama yaitu teori Gujarat. Teori Makkah berpendapat bahwa Islam masuk ke
Indonesia pada abad ke 7 dan pembawanya berasal dari Arab (Mesir).
Dasar teori ini adalah:
a. Pada abad ke 7 yaitu tahun 674 di pantai barat Sumatera
sudah terdapat perkampungan Islam (Arab); dengan pertimbangan bahwa pedagang
Arab sudah mendirikan perkampungan di Kanton sejak abad ke-4. Hal ini juga
sesuai dengan berita Cina.
b. Kerajaan Samudra Pasai menganut aliran mazhab Syafi’i,
dimana pengaruh mazhab Syafi’i terbesar pada waktu itu adalah Mesir dan Mekkah.
SedangkanGujarat/India adalah penganut mazhab Hanafi.
c.
Raja-raja Samudra Pasai menggunakan gelar Al malik, yaitu gelar tersebut
berasal dari Mesir.
Pendukung teori Makkah ini adalah
Hamka, Van Leur dan T.W. Arnold. Para ahli yang mendukung teori ini menyatakan
bahwa abad 13 sudah berdiri kekuasaan politik Islam, jadi masuknya ke Indonesia
terjadi jauh sebelumnya yaitu abad ke 7 dan yang berperan besar terhadap proses
penyebarannya adalah bangsa Arab sendiri. Dari penjelasan di atas, apakah Anda
sudah memahami? Kalau sudah paham simak
3)
Teori Persia
Teori ini berpendapat bahwa Islam masuk ke Indonesia abad 13 dan
pembawanya berasal dari Persia (Iran). Dasar teori ini adalah kesamaan budaya
Persia dengan budaya masyarakat Islam Indonesia seperti:
a.
Peringatan 10 Muharram atau Asyura atas meninggalnya Hasan dan Husein cucu Nabi
Muhammad, yang sangat di junjung oleh orang Syiah/Islam Iran. Di Sumatra Barat
peringatan tersebut disebut dengan upacara Tabuik/Tabut. Sedangkan di pulau
Jawa ditandai dengan pembuatan bubur Syuro.
b.
Kesamaan ajaran Sufi yang dianut Syaikh Siti Jennar dengan sufi dari Iran yaitu
Al – Hallaj.
c.
Penggunaan istilah bahasa Iran dalam sistem mengeja huruf Arab untuk tanda-
tanda bunyi Harakat.
d.
Ditemukannya makam Maulana Malik Ibrahim tahun 1419 di Gresik.
e.
Adanya perkampungan Leren/Leran di Giri daerah Gresik. Leren adalah nama salah
satu Pendukung teori ini yaitu Umar Amir Husen dan P.A. Hussein Jayadiningrat.
Ketiga teori tersebut, pada dasarnya
masing-masing memiliki kebenaran dan kelemahannya. Maka itu berdasarkan teori
tersebut dapatlah disimpulkan bahwa Islam masuk ke Indonesia dengan jalan damai
pada abad ke – 7 dan mengalami perkembangannya pada abad 13. Sebagai pemegang
peranan dalam penyebaran Islam adalah bangsa Arab, bangsa Persia dan Gujarat
(India). Demikianlah uraian materi tentang proses masuknya Islam ke Indonesia.
Proses masuk dan berkembangnya Islam
ke Indonesia pada dasarnya dilakukan dengan jalan damai melalui beberapa
jalur/saluran yaitu melalui perdagangan seperti yang dilakukan oleh pedagang
Arab, Persia dan Gujarat. Pedagang tersebut berinteraksi/bergaul dengan
masyarakat Indonesia. Pada kesempatan tersebut dipergunakan untuk menyebarkan
ajaran Islam. Selanjutnya diantara pedagang tersebut ada yang terus menetap,
atau mendirikan perkampungan, seperti pedagang Gujarat mendirikan perkampungan
Pekojan. Dengan adanya perkampungan pedagang, maka interaksi semakin sering
bahkan ada yang sampai menikah dengan wanita Indonesia, sehingga proses
penyebaran Islam semakin cepat berkembang.
Perkembangan Islam yang cepat
menyebabkan muncul tokoh ulama atau mubaliqh yang menyebarkan Islam melalui
pendidikan dengan mendirikan pondok-pondok pesantren. Pondok pesantren adalah
tempat para pemuda dari berbagai daerah dan kalangan masyarakat menimba ilmu
agama Islam. Setelah tammat dari pondok tersebut, maka para pemuda menjadi juru
dakwah untuk menyebarkan Islam di daerahnya masing- masing. Di samping
penyebaran Islam melalui saluran yang telah dijelaskan di atas, Islam juga
disebarkan melalui kesenian, misalnya melalui pertunjukkan seni gamelan ataupun
wayang kulit. Dengan demikian Islam semakin cepat berkembang dan mudah diterima
oleh rakyat Indonesia.
Proses penyebaran Islam di Indonesia
atau proses Islamisasi tidak terlepas dari peranan para pedagang,
mubaliqh/ulama, raja, bangsawan atau para adipati. Di pulau Jawa, peranan
mubaliqh dan ulama tergabung dalam kelompok para wali yang dikenal dengan
sebutan Walisongo atau wali sembilan yang terdiri dari:
1)
Maulana Malik Ibrahim dikenal dengan nama Syeikh Maghribi menyebarkan
Islam di Jawa Timur.
2)
Sunan Ampel dengan nama asli Raden Rahmat menyebarkan Islam di daerah
Ampel Surabaya.
3)
Sunan Bonang adalah putra Sunan Ampel memiliki nama asli Maulana Makdum
Ibrahim, menyebarkan Islam di Bonang (Tuban).
4)
Sunan Drajat juga putra dari Sunan Ampel nama aslinya adalah
Syarifuddin, menyebarkan Islam di daerah Gresik/Sedayu.
5)
Sunan Giri nama aslinya Raden Paku menyebarkan Islam di daerah Bukit
Giri (Gresik)
6)
Sunan Kudus nama aslinya Syeikh Ja’far Shodik menyebarkan ajaran Islam
di daerah Kudus.
7)
Sunan Kalijaga nama aslinya Raden Mas Syahid atau R. Setya menyebarkan
ajaran Islam di daerah Demak.
8)
Sunan Muria adalah putra Sunan Kalijaga nama aslinya Raden Umar Syaid
menyebarkan islamnya di daerah Gunung Muria.
9)
Sunan Gunung Jati nama aslinya Syarif Hidayatullah, menyebarkan Islam di
Jawa Barat (Cirebon)
Wujud akulturasi antara kebudayaan Indonesia dengan kebudayaan islam antara lain sebagai berikut:
a. Seni Bangunan
1. Masjid
Dilihat dari segi arsitektuknya,
masjid-masjid kuno di Indonesia menampakan gaya arsitektur asli Indonesia
dengan ciri-ciri sebagai berikut:
- Atapnya bertingkat/tumpang dan ada puncaknya (mustaka).
- Pondasinya kuat dan agak tinggi.
- Ada serambi di depan atau di samping.
- Ada kolam/parit di bagian depan atau samping.
Gaya arsitektur bangunan yang
mendapat pengaruh Islam ialah sebagai berikut:
- hiasan kaligrafi;
- kubah;
- bentuk masjid.
Adapun bangunan masjid kuno yang
beratap tumpang, antara lain sebagai berikut:
1. Masjid beratap tumpang, antara lain sebagai berikut:
1. Masjid beratap tumpang, antara lain sebagai berikut:
- Masjid Agung Cirebon dibangun pada abad ke-16.
- Masjid Angke, Tambora dan Marunda di Jakarta dibangun pada abad ke-18.
- Masjid Katangka di Sulawesi Selatan dibangun pada abad ke-17.
2.
Masjid beratap tumpang tiga, antara lain sebagai berikut:
- Masjid Agung Demak dibangun pada abad ke-16.
- Masjid Baiturahman di Aceh, dibangun pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda, yakni pada abad ke-17.
- Masjid Jepara
- Masjid Ternate
3.
Masjid beratap tumpang lima ialah Masjid Banten yang dibangun pada abad
ke-17.
b. Makam
Makam khususnya untuk para raja
bentuknya seperti istana disamakan dengan orangnya yang dilengkapi dengan
keluarga, pembesar, dan pengiring terdekat. Budaya asli Indonesia terlihat pada
gugusan cungkup yang dikelompokkan menurut hubungan keluarga. Pengaruh budaya
Islam terlihat pada huruf dan bahasa Arab, misalnya Makam Puteri Suwari di
Leran (Gresik) dan Makam Sendang Dhuwur di atas bukit (Tuban).
c. Seni Rupa dan Aksara
Akulturasi bidang seni rupa terlihat
pada seni kaligrafi atau seni khot, yaitu seni yang memadukan antara seni lukis
dan seni ukir dengan menggunakan huruf Arab yang indah dan penulisannya
bersumber pada ayat-ayat suci Al Qur'an dan Hadit. Adapun fungsi seni kaligrafi
adalah untuk motif batik, hiasan pada masjid-masjid, keramik, keris, nisan,
hiasan pada mimbar dan sebagainya.
d. Seni Sastra
Seni sastra Indonesia di zaman Islam
banyak terpengaruh dari sastra Persia. Di Sumatra, misalnya menghasilkan karya
sastrayang berisi pedoman-pedoman hidup, seperti cerita Amir Hamzah, Bayan
Budiman dan 1001 Malam. Di samping itu juga mendapat pengaruh Hindu, seperti
Hikayat Pandawa Lima, Hikayat Sri Rama. Cerita Panji pada zaman Kediri (Hindu)
muncul lagi dalam bentuk Islam, seperti Hikayat Panji Semirang. Hasil seni
sastra, antara lain sebagai berikut:
- Suluk, yaitu kitab yang membentangkan ajaran tasawuf. Contohnya ialah Suluk Wujil, Suluk Sukarsa, dan Suluk Malang Sumirang. Karya sastra yang dekat dengan suluk ialah primbon yang isinya bercorak kegaiban dan ramalan penentuan hari baik dan buruk, pemberian makna kepada sesuatu kejadian dan sebagainya.
- Hikayat, yakni saduran cerita wayang.
- Babad, ialah hikayat yang berisi sejarah. Misalnya Babad Tanah Jawi isinya sejarah Pulau Jawa, Babad Giyanti tentang pembagian Mataram menjadi Surakarta dan Yogyakarta dan sebagainya.
- Kitab-kitab lain yang berisi ajaran moral dan tuntunan hidup, seperti Tajus Salatin dan Bustan us Salatin.
e. Sistem Kalender
Pada zaman Khalifah Umar bin Khatab
ditetapkan kalender Islam dengan perhitungan atas dasar peredaran bulan yang
disebut tahun Hijriah. Tahun 1 Hijrah (H) bertepatan dengan tahun 622 M.
Sementara itu, di Indonesiapada saat yang sama telah menggunakan perhitungan
tahun Saka (S) yang didasarkan atas peredaran matahari. Tahun 1 Saka bertepatan
dengan tahun 78 M. Pada tahun 1633 M, Sultan Agung raja terbesar Mataram
menetapkan berlakuknya tahun Jawa (tahun Nusantara) atas dasar perhitungan
bulan ( 1 tahun =354 hari). Dengan masuknya Islam maka muncul sistem kalender
Islam dengan menggunakan nama-nama bulan, seperti Muharram (bulan Jawa;
Sura),Shafar (bulan Jawa; Sapar), dan sebagainya sampai dengan Dzulhijah (bulan
Jawa; Besar) dengan tahun Hijrah (H).
f. Seni Musik dan Tari
Akulturasi pada seni musik terlihat
pada musik qasidah dan gamelan pada saat upacara Gerebeg Maulud. Di bidang seni
tari terlihat pada tari Seudati yang diiringi sholawat nabi, kesenian Debus
yang diawali dengan membaca Al Qur'an yang berkembang di Banten, Aceh, dan
Minangkabau.
g. Sistem Pemerintahan
Pada zaman Hindu pusat kekuasaan
adalah raja sehingga raja dianggap sebagai titisan dewa. Oleh karena itu,
muncul kultus “dewa raja”. Apa yang dikatakan raja adalah benar. Demikian juga
pada zaman Islam, pola tersebut masih berlaku hanya dengan corak baru. Raja
tetap sebagai penguasa tunggal karena dianggap sebagai khalifah, segala
perintahnya harus dituruti.
III. KEBUDAYAAN BARAT DI
INDONESIA
Proses akulturasi di Indonesia
tampaknya beralir secara simpang siur, dipercepat oleh usul-usul radikal,
dihambat oleh aliran kolot, tersesat dalam ideologi-ideologi, tetapi pada
dasarnya dilihat arah induk yang lurus: ”the things of humanity all humanity
enjoys”. Terdapatlah arus pokok yang dengan spontan menerima unsur-unsur
kebudayaan internasional yang jelas menguntungkan secara positif.
Akan tetapi pada refleksi dan dalam
usaha merumuskannya kerap kali timbul reaksi, karena kategori berpikir belum
mendamaikan diri dengan suasana baru atau penataran asing. Taraf-taraf
akulturasi dengan kebudayaan Barat pada permulaan masih dapat diperbedakan,
kemudian menjadi overlapping satu kepada yang lain sampai pluralitas, taraf,
tingkat dan aliran timbul yang serentak. Kebudayaan Barat mempengaruhi
masyarakat Indonesia, lapis demi lapis, makin lama makin luas lagi dalam
(Bakker; 1984).
Apakah kebudayaan Barat modern semua
buruk dan akan mengerogoti Kebudayaan Nasional yang kita gagas? Oleh karena
itu, kita perlu merumuskan definisi yang jelas tentang Kebudayaan Barat Modern.
Frans Magnis Suseno dalam bukunya ”Filsafat Kebudayan Politik”, membedakan tiga
macam Kebudayaan Barat Modern:
A. Kebudayaan Teknologi Modern
Pertama kita harus membedakan antara
Kebudayan Barat Modern dan Kebudayaan Teknologis Modern. Kebudayaan Teknologis
Modern merupakan anak Kebudayaan Barat. Akan tetapi, meskipun Kebudayaan
Teknologis Modern jelas sekali ikut menentukan wujud Kebudayaan Barat, anak itu
sudah menjadi dewasa dan sekarang memperoleh semakin banyak masukan non-Barat,
misalnya dari Jepang.
Kebudayaan Tekonologis Modern
merupakan sesuatu yang kompleks. Penyataan-penyataan simplistik, begitu pula
penilaian-penilaian hitam putih hanya akan menunjukkan kekurangcanggihan
pikiran. Kebudayaan itu kelihatan bukan hanya dalam sains dan teknologi,
melainkan dalam kedudukan dominan yang diambil oleh hasil-hasil sains dan
teknologi dalam hidup masyarakat: media komunikasi, sarana mobilitas fisik dan
angkutan, segala macam peralatan rumah tangga serta persenjataan modern. Hampir
semua produk kebutuhan hidup sehari-hari sudah melibatkan teknologi modern
dalam pembuatannya.
Kebudayaan Teknologis Modern itu
kontradiktif. Dalam arti tertentu dia bebas nilai, netral. Bisa dipakai atau
tidak. Pemakaiannya tidak mempunyai implikasi ideologis atau keagamaan. Seorang
Sekularis dan Ateis, Kristen Liberal, Budhis, Islam Modernis atau Islam
Fundamentalis, bahkan segala macam aliran New Age dan para normal dapat dan mau
memakainya, tanpa mengkompromikan keyakinan atau kepercayaan mereka
masing-masing. Kebudayaan Teknologis Modern secara mencolok bersifat
instumental.
B. Kebudayaan Modern Tiruan
Dari kebudayaan Teknologis Modern
perlu dibedakan sesuatu yang mau saya sebut sebagai Kebudayaan Modern Tiruan.
Kebudayaan Modern Tiruan itu terwujud dalam lingkungan yang tampaknya
mencerminkan kegemerlapan teknologi tinggi dan kemodernan, tetapi sebenarnya
hanya mencakup pemilikan simbol-simbol lahiriah saja, misalnya kebudayaan
lapangan terbang internasional, kebudayaan supermarket (mall), dan kebudayaan
Kentucky Fried Chicken (KFC).
Di lapangan terbang internasional
orang dikelilingi oleh hasil teknologi tinggi, ia bergerak dalam dunia buatan:
tangga berjalan, duty free shop dengan tawaran hal-hal yang kelihatan mentereng
dan modern, meskipun sebenarnya tidak dibutuhkan, suasana non-real kabin
pesawat terbang; semuanya artifisial, semuanya di seluruh dunia sama, tak ada
hubungan batin.
Kebudayaan Modern Tiruan hidup dari
ilusi, bahwa asal orang bersentuhan dengan hasil-hasil teknologi modern, ia
menjadi manusia modern. Padahal dunia artifisial itu tidak menyumbangkan
sesuatu apapun terhadap identitas kita. Identitas kita malahan semakin kosong
karena kita semakin membiarkan diri dikemudikan. Selera kita, kelakuan kita,
pilihan pakaian, rasa kagum dan penilaian kita semakin dimanipulasi, semakin
kita tidak memiliki diri sendiri. Itulah sebabnya kebudayaan ini tidak nyata,
melainkan tiruan, blasteran.
Anak Kebudayaan Modern Tiruan ini
adalah Konsumerisme: orang ketagihan membeli, bukan karena ia membutuhkan, atau
ingin menikmati apa yang dibeli, melainkan demi membelinya sendiri. Kebudayaan
Modern Blateran ini, bahkan membuat kita kehilangan kemampuan untuk menikmati
sesuatu dengan sungguh-sungguh. Konsumerisme berarti kita ingin memiliki
sesuatu, akan tetapi kita semakin tidak mampu lagi menikmatinya. Orang makan di
KFC bukan karena ayam di situ lebih enak rasanya, melainkan karena fast food
dianggap gayanya manusia yang trendy, dan trendy adalah modern.
C. Kebudayaan-Kebudayaan Barat
Kita keliru apabila budaya blastern
kita samakan dengan Kebudayaan Barat Modern. Kebudayaan Blastern itu memang
produk Kebudayaan Barat, tetapi bukan hatinya, bukan pusatnya dan bukan kunci
vitalitasnya. Ia mengancam Kebudayaan Barat, seperti ia mengancam identitas
kebudayaan lain, akan tetapi ia belum mencaploknya. Italia, Perancis, Spanyol,
Jerman, bahkan barangkali juga Amerika Serikat masih mempertahankan kebudayaan
khas mereka masing-masing. Meskipun di mana-mana orang minum Coca Cola,
kebudayaan itu belum menjadi Kebudayaan Coca Cola. Orang yang sekadar
tersenggol sedikit dengan kebudayaan Barat palsu itu, dengan demikian belum
mesti menjadi orang modern. Ia juga belum akan mengerti bagaimana orang Barat
menilai, apa cita-citanya tentang pergaulan, apa selera estetik dan cita
rasanya, apakah keyakinan-keyakinan moral dan religiusnya, apakah paham tanggung
jawabnya (Suseno; 1992).
Daftar Pustaka :
1. Hamka. Sejarah Umat Islam.
Pustaka Nasional, 1997.
Khan, Ong Hok. Dari Soal Priyayi
sampai Nyi Biorong. Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2002.
2. Sulistyo, Basuki. Mitos
Bubuksah Kajian-Kajian Struktural dan Maknanya. Yogyakarta, Balai Arkeologi
Depdiknas, 2000.
3. Yatim, Badri. Sejarah
Peradaban Islam. Rajawali Press, 2000.
4. Buku 1
5. Buku 2
Komentar
Posting Komentar