1.
ASPEK HUKUM DALAM INDUSTRI JASA
KONSTRUKSI INDONESIA
Jasa Konstruksi sebagai salah satu bidang dalam sarana
pembangunan, sudah sepatutnya diatur dan dilindungi secara hukum agar terjadi
situasi yang objektif dan kondusif dalam pelaksanaannya. Hal ini telah sesuai
dengan UU Nomor 18 Tahun 1999 beserta PP Nomor 28, 29, dan 30 Tahun 2000 serta
peraturan perundang-undangan lain yang terkait. Sebagaimana diketahui bahwa UU
Nomor 18 Tahun 1999 ini menganut asas : kejujuran dan keadilan, asas manfaat,
asas keserasian, asas keseimbangan, asas keterbukaan, asas kemitraan, keamanan
dan keselamatan demi kepentingan masyarakat, bangsa dan negara (Pasal 2 UU
Nomor 18 Tahun 1999).
Pengaturan jasa konstruksi bertujuan untuk: (1) Memberikan
arah pertumbuhan dan perkembangan jasa konstruksi untuk mewujudkan struktur
usaha yang kokoh, andal, berdaya saing tinggi, dan hasil pekerjaan konstruksi
yang berkualitas. (2) Mewujudkan tertib penyelenggaraan pekerjaan konstruksi
yang menjamin kesetaraan kedudukan antara pengguna jasa dan penyedia jasa dalam
hak dan kewajiban, serta meningkatkan kepatuhan pada ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. (3) Mewujudkan peningkatan peran masyarakat di
bidang jasa konstruksi.
A. Pada
pelaksanaan Jasa Konstruksi harus memperhatikan beberapa aspek hukum :
- Keperdataan ; menyangkut tentang sahnya suatu perjanjian yang berkaitan dengan kontrak pekerjaan jasa konstruksi, yang memenuhi legalitas perusahaan, perizinan, sertifikasi dan harus merupakan kelengkapan hukum para pihak dalam perjanjian.
- Administrasi Negara; menyangkut tantanan administrasi yang harus dilakukan dalam memenuhi proses pelaksanaan kontrak dan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang konstruksi.
- Ketenagakerjaan : menyangkut tentang aturan ketenagakerjaaan terhadap para pekerja pelaksana jasa konstruksi.
- Pidana : menyangkut tentang tidak adanya sesuatu unsur pekerjaan yang menyangkut ranah pidana.
Mengenai
hukum kontrak konstruksi merupakan hukum perikatan yang diatur dalam Buku III
KUH Perdata mulai dari Pasal 1233 sampai dengan Pasal 1864 KUH Perdata. Pada
Pasal 1233 KUH Perdata disebutkan bahwa tiap-tiap perikatan dilahirkan dari
perjanjian persetujuan dan Undang-Undang. Serta dalam suatu perjanjian dianut
asas kebebasan dalam membuat perjanjian, hal ini disimpulkan dari Pasal 1338
KUH Perdata yang menerangkan; segala perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Dimana sahnya suatu
perjanjian adalah suatu perjanjian yang memenuhi Pasal 1320 KUH Perdata,
mengatur tentang empat syarat sahnya suatu perjanjian yaitu :
- Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
- Kecakapan untuk membuat suatu perikatan ;
- Suatu hal tertentu;
- Suatu sebab yang diperkenankan.
B.
Kontrak Kerja Konstruksi
Pengaturan hubungan kerja konstruksi antara pengguna jasa
dan penyedia jasa harus dituangkan dalam kontrak kerja konstruksi. Suatu
kontrak kerja konstruksi dibuat sekurang-kurangnya harus mencakup uraian
adanya:
- para pihak
- isi atau rumusan pekerjaan
- jangka pertanggungan dan/atau pemeliharaan
- tenaga ahli
- hak dan kewajiban para pihak
- tata cara pembayaran
- cidera janji
- penyelesaian tentang perselisihan
- pemutusan kontrak kerja konstruksi
- keadaan memaksa (force majeure)
- tidak memenuhi kualitas dan kegagalan bangunan
- perlindungan tenaga kerja
- perlindungan aspek lingkungan.
Formulasi
rumusan pekerjaan meliputi lingkup kerja, nilai pekerjaan, dan batasan waktu
pelaksanaan. Rincian lingkup kerja ini meliputi:
a. Volume pekerjaan, yakni besaran
pekerjaan yang harus dilaksanakan.
b. Persyaratan administrasi, yakni
prosedur yang harus dipenuhi oleh para pihak dalam mengadakan interaksi.
c. persyaratan teknik, yakni ketentuan
keteknikan yang wajib dipenuhi oleh penyedia jasa
d. pertanggungan atau jaminan yang
merupakan bentuk perlindungan antara lain untuk pelaksanaan pekerjaan,
penerimaan uang muka, kecelakaan bagi tenaga kerja dan masyarakat
e. laporan hasil pekerjaan konstruksi,
yakni hasil kemajuan pekerjaan yang dituangkan dalam bentuk dokumen tertulis.
Sedangkan, nilai pekerjaan yakni mencakup jumlah besaran biaya yang akan
diterima oleh penyedia jasa untuk pelaksanaan keseluruhan lingkup pekerjaan.
Batasan waktu pelaksanaan adalah jangka waktu untuk menyelesaikan keseluruhan
lingkup pekerjaan termasuk masa pemeliharaan.
C.
Peraturan Perundang-Undangan Dalam Jasa Konstruksi
- Undang-Undang No.18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi
- PP No.28 Tahun 2000 tentang Usaha dan Peran Masyarakat Jasa Konstruksi
- PP No.29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Jasa Konstruksi
- PP No.30 Tahun 2000 tentang Penyelenggaraan Pembinaan Jasa Konstruksi
- Kepres RI No. 80 Tahun 2003 tentang Pedoman Pelaksanaan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah berikut perubahannya
- Kepmen KIMPRASWIL No.339/KPTS/M/2003 tentang Petunjuk Pelaksanaan Pengadaan Jasa Konstruksi oleh Instansi Pemerintah
- Surat Edaran Menteri PU No.08/SE/M/2006 perihal Pengadaan Jasa Konstruksi untuk Instansi Pemerintah Tahun Anggaran 2006
- Peraturan Menteri PU No. 50/PRT/1991 tentang Perizinan Perwakilan Perusahaan Jasa Konstruksi Asing
- dan peraturan-peraturan lainnya
D.
Permasalahan Hukum Dalam Jasa Konstruksi
- Aspek Hukum Perdata
Pada umumnya adalah terjadinya
permasalahan Wanprestasi dan Perbuatan Melawan Hukum. Wanprestasi artinya tidak
memenuhi kewajiban yang telah ditetapkan dalam perikatan (kontrak), baik
perikatan yang timbul karena perjanjian maupun perikatan yang timbul karena
undang-undang. Tidak dipenuhinya kewajiban itu ada 2 (dua) kemungkinan, yaitu :
-
Karena
kesalahan salah satu pihak baik karena kesengajaan maupun karena kelalain
-
Karena
keadaan memaksa (force majeur), jadi diluar kemampuan para pihak, jadi tidak
bersalah.
- Aspek Hukum Pidana
Bilamana
terjadi cidera janji terhadap kontrak, yakni tidak dipenuhinya isi kontrak,
maka mekanisme penyelesaiannya dapat ditempuh sebagaimana yang diatur dalam isi
kontrak karena kontrak berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang
memembuatnya. Hal ini juga dapat dilihat pada UUJK pada bab X yang mengatur
tentang sanksi dimana pada pasal 43 ayat (1), (2), dan (3).
tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi jo UU No 20 Tahun 2001, Pasal 2 ayat (1) yang menjelaskan
unsur-unsurnya adalah ;
1. Perbuatan melawan hukum;
2. Melakukan perbuatan memperkaya diri
sendiri atau orang lain atau suatu korporasi;
3. Merugikan keuangan Negara atau
perekonomian;
4. Menyalahgunakan kekuasaan,
kesempatan atas sarana yang ada padanya karena jabatan dan kedudukannya dengan
tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain.
2.
KONTRAK FIDIC
Fidic adalah singkatan dari Federation Internationale Des
Ingenieurs-Conseils (International
Federation of Consulting Engineers) yang berkedudukan di Lausanne,
Swiss, dan didirikan dalam tahun 1913 oleh negara-negara Perancis, Belgia dan
Swiss. Dalam perkembangannya, FIDIC merupakan perkumpulan dari
assosiasi-assosiasi nasional para konsultan (Consulting
engineers) seluruh dunia. Dari asalnya sebagai suatu organisasi
Eropa, FIDIC mulai berkembang setelah Perang Dunia ke II dengan bergabungnya
Inggris pada tahun 1949 disusul Amerika Serikat pada tahun 1958, dan baru pada
tahun tujuhpuluhan bergabunglah negara-negara NIC, Newly Industrialized Countries, sehingga
FIDIC menjadi organisasi yang berstandar internasional.
Kontrak
FIDIC adalah bentuk standar yang paling umum digunakan kontrak konstruksi
internasional di dunia saat ini. Kontrak FIDIC standar yang sering digunakan
dalam kedua proyek konstruksi besar dan kecil, dan mereka cocok untuk pihak
dari kebangsaan yang berbeda, berbicara bahasa yang berbeda dan berasal dari
yurisdiksi yang berbeda.
Semua Kontrak FIDIC memiliki
fitur umum tertentu dan mengakui perlunya pendekatan yang seimbang antara peran
dan tanggung jawab pihak yang terlibat, serta alokasi seimbang dan manajemen
risiko. Semua dari mereka terdiri dari Syarat Umum Kontrak yang (“GCC”),
yang dianggap cocok dalam semua kasus, dan Ketentuan khusus Kontrak (“PCC”),
di mana para pihak dapat menentukan isu-isu spesifik proyek atas dasar kasus
per kasus. Semua Kontrak FIDIC juga termasuk aturan untuk adaptasi jumlah
kontrak yang telah disepakati dan aturan untuk perpanjangan waktu untuk
penyelesaian dan variasi prosedur. Mereka semua membutuhkan pengalaman dan staf
terampil, baik atas nama Pemberi Kerja serta atas nama Kontraktor, termasuk
Engineer, yang menjadi independen dan tidak memihak.
Bentuk standar pertama kontrak
konstruksi FIDIC, dikenal sebagai Red Book, edisi pertama, diterbitkan di 1957.
Versi pertama dari FIDIC Buku Merah Kontrak didasarkan pada kontrak domestik
yang itu sendiri dikembangkan berdasarkan Kondisi ICE Kontrak diterbitkan oleh
Institution of Civil Engineers. Hal ini menjelaskan banyak fitur hukum umum
dari Suite FIDIC Kontrak, di kali disambut dengan skeptis oleh pengacara sipil.
3.
KLAIM KONTRAK
Klaim
adalah tuntutan pengakuan atas suatu fakta bahwa seseorang berhak (untuk
memiliki atau mempunyai) atas sesuatu. Klaim konstruksi adalah permohonan atau
tuntutan yang timbul dari atau sehubungan dengan pelaksanaan suatu pekerjaan
jasa konstruksi antara pengguna jasa dan penyedia jasa atau antara penyedia
jasa utama dengan sub – penyedia jasa atau pemasok bahan atau antara pihak luar
dengan pengguna jasa / penyedia jasa yang bisaanya mengenai permintaan tambahan
waktu, biaya atau kompensasi lain.
Klaim-klaim
konstruksi yang biasa muncul dan paling sering terjadi adalah klaim mengenai
waktu dan biaya sebagai akibat perubahan pekerjaan. Bila pekerjaan berubah,
katakanlah volume pekerjaan bertambah atau sifat dan jenisnya berubah, tidak
terlalu sulit menghitung berapa tambahan biaya yang diminta penyedia jasa
beserta tambahan waktu. Namun terkadang penyedia jasa, disamping mengajukan
klaim yang disebut tadi, juga mengajukan klaim sebagai dampak terhadap
pekerjaan yang tidak berubah. Hal ini dapat diterangkan sebagai berikut: suatu
pekerjaan yang tidak diubah terpaksa ditunda (karena alasan teknis
pelaksanaannya dengan adanya pekerjaan lain yang berubah).
Menurut
Robert D Gilbreath, unsur-unsur klaim konstruksi tersebut adalah:
a.
Tambahan upah, material, peralatan, pengawasan,
administrasi, overhead dan waktu.
b.
Pengulangan pekerjaan (bongkar/pasang).
c.
Pengaruh iklim.
d. De-mobilisasi dan
Re-mobilisasi. Salah penempatan peralatan.
e.
Penumpukan bahan.
f.
De-efisiensi jenis pekerjaan.
4.
DISPUTE (SENGKETA)
Penyelesaian sengketa adalah suatu
penyelesaian perkara yang dilakukan antara salah satu pihak dengan pihak yang
lainnya. Penyelesaian sengketa terdiri dari dua cara yaitu melalui litigasi
(pengadilan) dan non litigasi (luar pengadilan). Dalam proses penyelesaian
sengketa melalui litigasi merupakan sarana terakhir (ultimum remidium)
bagi para pihak yang bersengketa setelah proses penyelesaian melalui non
litigasi tidak membuahkan hasil.
Sengketa jasa konstruksi terdiri
dari :
a.
Sengketa
yang terjadi sebelum adanya kesepakatan kontraktual, dan dalam tahap proses
tawar menawar ( Precontractual).
b.
Sengketa
yang terjadi pada saat berlangsungnya pekerjaan pelaksanaan konstruksi
(contractuai).
c.
Sengketa
yang terjadi setelah bangunan beroperasi atau dimanfaatkan selama 10 (sepuluh)
tahun.(pascacontractual).
Menurut Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 30 Tahun
1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa,
penyelesaian sengketa melalui non litigasi (luar pengadilan) terdiri dari 5
cara yaitu:
- Konsultasi: suatu tindakan yang dilakukan antara satu pihak dengan pihak yang lain yang merupakan pihak konsultan
- Negosiasi: penyelesaian di luar pengadilan dengan tujuan untuk mencapai kesepakatan bersama atas dasar kerja sama yang lebih harmonis
- Mediasi: penyelesaian melalui perundingan untuk mencapai kesepakatan di antara para pihak dengan dibantu oleh mediator
- Konsiliasi: penyelesaian sengketa dibantu oleh konsiliator yang berfungsi menengahi para pihak untuk mencari solusi dan mencapai kesepakatan di antara para pihak.
- Penilaian Ahli: pendapat para ahli untuk suatu hal yang bersifat teknis dan sesuai dengan bidang keahliannya.
Akan tetapi
dalam perkembangannya, ada juga bentuk penyelesaian di luar pengadilan yang
ternyata menjadi salah satu proses dalam penyelesaian yang dilakukan di dalam
pengadilan (litigasi). Contohnya mediasi.
PENYELESAIAN SENGKETA TANAH MELALUI
MEDIASI
(Studi Kasus di Kantor Pertanahan
Kabupaten Sukoharjo)
ABSTRAK
Tanah sebagai sumber daya alam yang sangat berguna bagi kelangsungan hidup manusia di Indonesia
masih jumlahnya tidak bertambah atau tetap namun penggunaannya
yang bertambah dan membuat nilai harga
tanah juga ikut naik sehingga seringkali
menimbulkan konflik. Oleh karena
itu
diperlukan penyelesaian secara
tuntas salah
satunya melalui mediasi yang putusannya tidak ada pihak yang kalah ataupun
menang atau biasa disebut penyelesaian
secara
win
–
win solution sehingga tercipta keadilan diantara para
pihak. Dari hasil penelitian dan pembahasan
diperoleh kesimpulan bahwa prosedur atau tata cara mediasi yang
dilakukan oleh Kantor Pertanahan untuk menyelesaikan sengketa tanah dimulai dengan pemanggilan para pihak secara terpisah, kemudian dilakukan pemeriksaan
lapangan untuk memperoleh kebenaran data, selanjutnya para
pihak dipertemukan untuk mencari
jalan keluar dari
sengketa tanah tersebut. Prosedur mediasi yang
dilakukan
Kantor Pertanahan
tidak bertentangan dengan Peraturan
Menteri Agraria dan Tata Ruang / Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2016 tentang
Penyelesaian Kasus Pertanahan Pasal 6 sampai dengan Pasal 42. Sidang mediasi yang dilakukan Kantor Pertanahan terdiri dari 3
(tiga) kali sidang dengan pendekatan persuasif dimana para pihak dipanggil secara terpisah terlebih dahulu kemudian dipanggil bersama dalam sidang terakhir untuk menyelesaikan permasalah. Mediasi yang
dilakukan oleh Kantor Pertanahan merupakan penyelesaian sengketa secara non litigasi dengan pendekatan persuasif
yang berdasarkan pada prinsip
keadilan.
1.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Tanah merupakan salah satu sumber daya alam yang penting untuk kelangsungan hidup umat manusia,
hubungan manusia dengan tanah bukan
hanya sekedar tempat hidup,
tetapi lebih dari itu tanah memberikan sumber
daya bagi kelangsungan hidup umat manusia. Begitu pentingnya kedudukan tanah
bagi
manusia
tidak
jarang
menyebabkan terjadinya
permasalahan pertanahan.
Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan
Dasar Pokok – Pokok Agraria dalam Pasal 1 ayat (4) disebutkan bahwa Dalam
pengertian bumi, selain permukaan termasuk pula tubuh bumi yang berada
dibawahnya serta yang berada dibawah air. Secara konstitusional dalam Undang – Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Pasal 33 ayat (3) telah memberikan landasan
bahwa bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasi
Negara dan dipergunakan untuk sebesar- besarnya kemakmuran rakyat.
Tanah di Indonesia masih tetap namun penggunaannya yang bertambah dan
membuat nilai harga tanah juga ikut naik sehingga seringkali menimbulkan
konflik. Oleh karena itu diperlukan penyelesaian secara tuntas yang dapat
diterima para pihak yang berperkara sehingga tercipta keadilan diantara para
pihak yang berperkara. Permasalahan pertanahan merupakan isu yang selalu muncul
dan selalu aktual dari masa ke masa, seiring dengan bertambahnya penduduk, perkembangan pembangunan, dan
semakin meluasnya akses berbagai pihak yang memperoleh tanah
sebagi modal dasar dalam berbagai kepentingan. Sengketa tanah terjadi karena
tanah mempunyai kedudukan yang sangat penting, yang dapat membuktikan
kemerdekaan dan kedaulatan pemiliknya.
Tanah mempunyai fungsi
dalam rangka integritas
negara dan fungsi sebagai modal
dasar dalam rangka mewujudkan
sebesar – besarnya kemakmuran rakyat.
1.1
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
prosedur atau tata cara penyelesaian sengketa tanah melalui mediasi di Kantor
Pertanahan Kabupaten Sukoharjo?
2.
Bagaimana
model penyelesaian sengketa tanah melalui mediasi di Kantor Pertanahan Kabupaten Sukoharjo?
1.2
Batasan Masalah
1. Masalah penggarapan rakyat atas tanah areal kehutanan, perkebunan, dan
masalah yang berkenaan dengan pelanggaran ketentuan
tentang landreform?
2. Ekses
– ekses dalam penyediaan
tanah
untuk keperluan pembangunan dan Sengketa perdata
berkenaan dengan
masalah tanah ?
1.3
Tujuan Penelitian
1. Mengetahui prosedur atau tata cara
penyelesaian sengketa tanah melalui mediasi.
2. Menganalisa model penyelesaian sengketa tanah melalui mediasi.
3. Mengidentifikasi penyebab terjadinya
sengketa tanah.
1.4 Manfaat
Penelitian
1. Untuk memperoleh pengetahuan dan
wawasan mengenai penyelesaian sengketa tanah untuk mengantisipasi tidak
terjadinya sengketa tanah.
2. Penerapan peranan peraturan
perundang-undangan yang berlaku dalam menyikapi permasalahan sengketa tanah.
3. Mengantisipasi keterlambatan tidak
terjadinya sengketa tanah pada proyek konstruksi dengan mengacu pada dokumen
kontrak yang telah disepakati di awal.
2. METODE PENELITIAN
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis empiris yaitu dengan cara memecahkan masalah penelitian dengan meneliti data
sekunder
terlebih dahulu
untuk
kemudian melakukan penelitian
terhadap data primer dilapangan.
Penelitian ini mendasarkan pada penelitian hukum yang
dilakukan dengan pendekatan
non doktrinal, karena dalam penelitian ini bagaimana cara
penyelesaian sengketa tanah
melalui mediasi di Kantor Pertanahan dan
bagaimana
model penyelesaian sengketa
tanah melalui mediasi di Kantor Pertanahan.
Dalam penelitian ini terdapat 2 (dua) data, yaitu (1) Data Primer yaitu
data yang
diperoleh secara langsung dari sumbernya melalui penelitian dengan cara wawancara dengan pihak yang terkait dalam penelitian ini, (2) Data
Sekunder yaitu data yang
berasal dari bahan –
bahan
pustaka.
Metode pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan studi kepustakaan dan wawancara. Metode
analisis data
yang digunakan
metode kualitatif yaitu dengan cara
data yang
telah dikumpulkan atau diperoleh
kemudian dianalisis. Selanjutnya data tersebut dijadikan rujukan
dalam
rangka
memahami dan memperoleh pengertian yang mendalam dan menyeluruh untuk
memecahkan masalah dan menarik
kesimpulan.
3. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
3.1. Penyelesaian
Sengketa Melalui
Mediasi
Sengketa tanah yang
pertama yaitu sengketa tentang penyorobotan
tanah. Penyerobotan
tanah
masuk kedalam masalah Penguasaan dan
Pemilikan Tanah Yaitu
perbedaan persepsi, nilai atau pendapat, kepentingan mengenai status penguasaan di atas tanah tertentu yang tidak atau
belum dilekati hak (tanah
negara),
maupun yang
telah dilekati oleh pihak tertentu. Penyerobotan tanah
bukanlah suatu hal
yang baru dan terjadi
di Indonesia.
Salah
satu contoh sengketa penyerobotan
tanah yaitu terdapat 2 (dua) bidang tanah terletak dilokasi yang sama.
Tanah milik pihak
pengadu saat ini sudah didirikan bangunan oleh pihak teradu yang kemudian tanah
tersebut menjadi objek sengketa dalam penyerobotan tanah tersebut. Dikarenakan
terdapat dua bidang tanah dengan sertifikat yang berbeda dalam satu lokasi yang
sama, maka para pihak meminta kepada Kantor Pertanahan Kabupaten Sukoharjo
untuk menyelesaikan sengketa tersebut. Berdasarkan hasil penunjukan lokasi yang
telah dilakukan oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Sukoharjo para pihak sepakat
untuk menyetujui hasil penunjukkan lokasi tersebut. Kemudian tanah yang sudah
didirikan milik pihak Pengadu dibeli oleh pihak teradu.
Sedangkan
permasalahan kedua yaitu masalah jalan masih terkait dengan penyalahgunaan pemanfaatan
ruang. Jalan tersebut
terletak didepan rumah pelapor dan terlapor. Jalan tersebut diklaim oleh
terlapor sebagai bagian bagian dari terlapor, sehingga pelapor tidak dapat
mempergunakan jalan tersebut sebagai akses jalan. Setelah diperiksa ke lapangan
ternyata jalan tersebut merupakan jalan buntu.
Jalan sendiri
memiliki fungsi yaitu pengelempokkan jalan umum berdasarkan sifat dan
pergerakkan pada lalu lintas dan angkutan jalan. Berdasarkan ketentuan Undang –
Undang jalan merupakan fasilitas umum dan memiliki fungsi sosial, maka sudah
selayaknya jalan tersebut dapat digunakan oleh masyarakat bukan perorangan, hal
ini seperti dijelaskan dalam UUPA yang menyatakan bahwa fungsi sosial adalah
bahwa hak atas tanah apapun yang ada
pada seseorang tidaklah
dibenarkan, bahwa tanahnya
itu akan dipergunakan (atau tidak
dipergunakan) semata – mata untuk kepentingan pribadinya, apalagi kalau hal itu
menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Jalan yang menjadi objek sengketa
tersebut digunakan terlapor untuk tempat produksi batu bata. Atas dasar
tersebut pelapor meminta bantuan kepada Kantor Pertanahan untuk menyelesaiakan
permasalahan tersebut. Hasil mediasi
yang dilakukan para pihak sepakat bahwa jalan tersebut merupakan akses
umum.
Konflik
(conflict) atau sengketa (dispute) merupakan bagian dari kehidupan sosial, akan
selalu hadir seiring dengan keberadaan manusia dalam menjalankan aktivitasnya
yang selalui bersentuhan dengan sesamanya secara individu maupun kelompok. Penyelesaian
sengketa melalui jalan lain dengan pendekatan partisipatif dilakukan dengan
diarahkan pada suatu kesepakatan para pihak yang bersengketa, atau dengan
menggunakan media pihak ketiga yang tidak terlibat dalam sengketa. Model
penyelesaian seperti itu menurut John Burton lebih dekat pada model
penyelesaian yang disebut sebagai penyelesaian sengketa (settement of
conflict), yang didalamnya terdapat wewenang dan hukum, yang dapat dimintakan
kepada para pihak oleh kelompok penengah (mediator) untuk dilaksanakan.
Proses mediasi
dimulai dengan adanya laporan pengaduan dari masyarakat dalam bentuk permohonan
Mediasi yang disampaikan kepada Kepala
Kantor Pertanahan Kabupaten
Sukoharjo melalui loket penerimaan. Selanjutnya Permohonan
Mediasi tersebut diteruskan kepada subseksi Penanganan Sengketa, Konflik dan
Perkara Pertanahan dengan Disposisi dari Pimpinan Kantor untuk melakukan
penyelesaian kasus yang diadukan tersebut. Kegiatan Mediasi dilaksanakan
berdasarkan persetujuan dari pihak yang berseketa sesuai dengan pasal 38 ayat
(1) peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang / Kepala Badan Pertanahan Nasional
Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2016
tentang Penyelesaian Kasus Pertanahan menyatakan bahwa : “Apabila para pihak
bersedia untuk dilakukan mediasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 ayat (1),
maka mediasi dilaksanakan berdasarkan prinsip musyawarah untuk mufakat bagi
kebaikan semua pihak”. Proses atau tahapan penyelesaian sengketa tanah
melalui mediasi di
Kantor Pertanahan Kabupaten
Sukoharjo dimana Kantor Pertanahan
Kabupaten Sukoharjo sebagai mediator dilakukan sebagai berikut :
Mediasi pertama
bertempat diruang rapat kantor Pertanahan Kabupaten Sukoharjo yaitu dengan
agenda pemanggilan pihak pengadu atau pihak pelapor. Mediator kemudian menanyai
maksud dan tujuan dari pengajuan mediasi yang
diajukan dari pihak
pengadu untuk mengumpulkan
informasi awal (kaukus). Kemudian pihak pengadu menjelaskan maksud dan
tujuannya tersebut, sehingga mediator dapat memperoleh data yang nantinya
dijadikan bahan untuk dapat menemukan jalan keluar dari permasalahan tersebut. Sesuai
dengan Pasal 40 ayat (1) Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang / Kepala
Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2016 tentang
Penyelesaian Kasus Pertanahan, Hasil sidang mediasi pertama tersebut kemudian
dituangkan kedalam Berita Acara Mediasi yang ditulis oleh notulen.
Sidang mediasi
kedua bertempat diruang rapat kantor Pertanahan Kabupaten Sukoharjo
menindaklanjuti mediasi pertama. Sidang mediasi kedua ini adalah pemanggilan
pihak terlapor atau pihak teradu. Mediator menjelaskan kepada pihak teradu
tentang aduan dari pihak pengadu. Kemudian
mediator menggali informasi
dari apa yang diutarakan oleh pihak teradu untuk memperoleh data. Sehingga
mediator mempuyai data dari informasi yang diberikan oleh pihak pengadu dan
pihak teradu. Dari informasi tersebut mediator menarik kesimpulan sehingga
diperoleh jalan keluar dari permasalahan yang diadukan tersebut. Setelah
menggali informasi awal (kaukus) dari para pihak, selanjutnya mediator
memanggil kedua belah pihak untuk menghadiri sidang mediasi ketiga untuk
menyelesaikan permasalahan yang diadukan.
Pada sidang
ketiga mediator sudah mempunyai data yang diperoleh dari keterangan para pihak.
Data tersebut meliputi data yuridis dan data fisik. Data yuridis
berkaitan dengan permasalahan
yang diadukan sedangkan data fisik berupa denah lokasi
tanah yang disengketakan dan lain – lain. Sidang mediasi ketiga tersebut dapat
menemukan titik akhir yang dibagi menjadi 2 (dua), yaitu :
1). Sepakat untuk sepakat (damai)
Sepakat untuk
sepakat maksudnya adalah
para pihak sepakat untuk berdamai dan menyepakati hasil
dari mediasi yang disarankan oleh mediator. Dengan kata lain mediasi yang
dilakukan oleh Kantor Pertanahan berhasil. Setelah sepakat untuk berdamai, para
pihak dan mediator meninjau atau pemeriksaan lokasi tanah yang dijadikan
sengketa. Pemeriksaan lokasi ini bisa dilakukan sebelum sidang mediasi ketiga
bisa juga dilakukan setelah sidang mediasi ketiga tergantung dari kesepakatan
para pihak yang bersengketa.
Setelah melakukan
pemeriksaan lokasi, karena para pihak bersepakat untuk berdamai kemudian dibuat
perjanjian perdamaian. Hal ini sesuai dengan Pasal 41 ayat (1) dan ayat (2)
Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang / Kepala Badan Pertanahan Nasional
Republik Indonesia Nomor 11
tahun 2016 tentang
Penyelesaian Kasus Pertanahan
yaitu sebagai berikut :
a). Dalam hal
mediasi menemukan kesepakatan,
dibuat Perjanjian perdamaian
berdasarkan berita acara mediasi yang mengikat para pihak.
b). Perjanjian Perdamaian
tersebut didaftarkan
pada kepaniteraan
Pengadilan Negeri setempat sehingga
mempunyai kekuatan
hukum mengikat.
2). Sepakat
untuk tidak sepakat
Sepakat untuk tidak sepakat
artinya bahwa para pihak menolak saran dari mediator dengan kata lain, mediasi
yang dilakukan oleh Kantor
Pertanahan Kabupaten Sukoharjo
gagal. Dalam hal
mediasi tidak menemukan titik terang atau jalan keluar, mediator
memberikan rekomendasi kepada para pihak untuk menyelesaiakan permasalahan atau
sengketa tanah tersebut di Pengadilan Negeri setempat. Sesuai dengan Pasal 42
ayat (1) Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang / Kepala Badan Pertanahan
Nasional Republik Indonesia Nomor 11 tahun 2016 tentang Penyelesaian Kasus
Pertanahan menyatakan bahwa :
a). Dalam hal salah
satu pihak menolak untuk dilakukan mediasi atau mediasi batal karena sudah 3
(tiga) kali tidak memenuhi undangan atau telah melampaui waktu sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 38 ayat (2), Kepala Kantor Pertanahan membuat surat pemberitahuan
kepada pihak pengadu bahwa pengaduan atau mediasi telah selesai disertai dengan
penjelasan.
3.2. Model
Penyelesaian Sengketa Melalui Mediasi
Penyelesaian sengketa yang
dilakukan oleh Kantor Pertanahan Kabupaten Sukoharjo adalah penyelesaian sengketa
secara non litigasi. Penyelesaian sengketa secara non litigasi adalah
penyelesaian sengketa diluar pengadilan yang didasarkan kepada hukum, dan
penyelesaian tersebut dapat digolongkan kepada penyelesaian yang berkualitas
tinggi. Karena sengketa yang
diselesaikan secara demikian akan dapat selesai tuntas tanpa meninggalkan sisa
kebencian dan dendam.
Model penyelesaian sengketa
alternatif dengan mediasi menurut C. W. Moore digambarkan sebagai
intervensi terhadap suatu
sengketa atau negosiasi oleh pihak ketiga yang dapat diterima, tidak
berpihak dan netral, tidak mempunyai kewenangan untuk mengambil keputusan dalam
membantu para pihak yang berselisih sebagai upaya mencapai kesepakatan secara
sukarela dalam menyelesaikan masalah yang disengketakan para pihak.
Dalam lingkup hukum formal,
penyelesaian sengketa tanah melalui mediasi diatur dalam Pasal 6 hingga Pasal
42 Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang / Kepala Badan Pertanahan Nasional
Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2016 tentang Penyelesaian Kasus Pertanahan.
Kantor Pertanahan yang sejatinya mempunyai tugas menyelenggarakan urusan
pemerintahan dibidang agraria atau pertanahan, berwenang untuk menyelesaikan
sengketa tanah sesuai dengan Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang / Kepala
Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2016 tentang
Penyelesaian Kasus Pertanahan. Penyelesaian sengketa tanah yang dilakukan oleh
Kantor Pertanahan yaitu penyelesaian melalui mediasi, dimana dalam Pasal 2 ayat
(2) Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang / Kepala Badan Pertanahan Nasional
Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2016 tentang Penyelesaian Kasus Pertanahan
menyebutkan bahwa penyelesaian kasus Pertanahan bertujuan untuk memberikan
kepastian hukum dan keadilan mengenai penguasaan, pemilikan, penggunaan dan
pemanfaatan tanah.
Mediasi yang dilakukan Kantor
Pertanahan Kabupaten Sukoharjo menggunakan pendekatan secara persuasif dengan
menitikberatkan pada win – win solution untuk kedua pihak dengan
mengedepankan prinsip asas keadilan. Pendekatan secara persuasif dibuktikan dengan Kantor Pertanahan
Kabupaten Sukoharjo melakukan pendekatan dengan pemanggilan para
pihak secara terpisah,
tujuannya adalah untuk
mengetahui kemauan masing – masing pihak yang bersengketa, para pihak diberikan
kesempatan secara transparan untuk mengajukan pendapatnya mengenai permasalahan
tersebut.
Kemudian Kantor Pertanahan
melakukan penelitian lapangan untuk membuktikan kebenaran data yang diberikan
para pihak. Setelah diperoleh kebenaran data para pihak dipertemukan dan
mencari jalan keluar. Output dari mediasi ini adalah para pihak tidak ada yang
dirugikan dari putusan mediasi tersebut, dan adil bagi para pihak sehingga asas
keadilan bisa tercipta. Adil bukan berarti sama
tetapi adil disini
maksudnya adalah para
pihak bisa menerima putusan mediasi yang dibuat bersama secara sukarela, tidak
ada pihak yang kalah ataupun menang.
4.
Penutup
4.1
kesimpulan
Dari
uraian diatas
penulis menarik kesimpulan
sebagai berikut :
1) Proses atau tahapan penyelesaian sengketa penyerobotan tanah melalui
mediasi berdasarkan aduan yang
dilaporkan pihak pengadu di Kantor Pertanahan Kabupaten Sukoharjo dimana
Kantor Pertanahan Kabupaten
Sukoharjo sebagai mediator
dilakukan sebagai berikut : Kantor
Pertanahan Kabupaten Sukoharjo memanggil para pihak secara
terpisah untuk mengatahui kemauan masing-masing
pihak. Setelah pemanggilan pihak
secara terpisah Kantor Pertanahan melakukan pengecekan data
baik data fisik maupun data yuridis. Dari
data tersebut
kemudian Kantor Pertanahan menemukan kedua belah
pihak untuk menyelesaikan
permasalahan dengan dijelaskan
dan
diarahkan oleh mediator. Putusan dalam mediasi ini terdiri dari 2 (dua)
antara lain yaitu pertama, para
pihak sepakat untuk mediasi yang dilakukan Kantor Pertanahan berhasil, dari
keberhasilan mediasi tersebut dibuatkan akta perdamaian yang didaftarkan ke Kepaniteraan
Pengadilan Negeri setempat. Kedua, para
pihak sepakat untuk tidak sepakat artinya mediasi yang dilakukan oleh Kantor
Pertanahan tidak berhasil, Kantor Pertanahan memberi saran kepada para pihak
untuk membawa sengketa tersebut ke Pengadilan Negeri setempat.
2) Mediasi yang
dilakukan Kantor Pertanahan
Kabupaten Sukoharjo menggunakan pendekatan
secara persuasif dengan
menitik beratkan pada
win-win solution untuk
kedua pihak dengan
mengedepankan prinsip asas keadilan. Pendekatan secara persuasif
dibuktikan dengan Kantor Pertanahan Kabupaten
Sukoharjo melakukan pendekatan dengan pemanggilan para pihak
secara terpisah, tujuannya adalah untuk mengetahui kemauan
masing-masing pihak yang
bersengketa, para pihak diberikan
kesempatan secara transparan untuk mengajukan pendapatnya mengenai permasalahan
tersebut. Kemudian Kantor Pertanahan melakukan penelitian lapangan untuk
membuktikan kebenaran data yang diberikan para pihak. Setelah diperoleh
kebenaran data para pihak dipertemukan dan mencari jalan keluar. Output dari
mediasi ini adalah para pihak tidak ada yang dirugikan dari putusan mediasi
tersebut, dan adil bagi para pihak sehingga asas keadilan bisa tercipta. Adil
bukan berarti sama tetapi adil disini maksudnya adalah para pihak bisa menerima
putusan mediasi yang dibuat bersama secara sukarela, tidak ada pihak yang kalah
ataupun menang.
4.2
Saran
Penyelesaian sengketa tanah
melalui mediasi dikantor pertanahan menurut penulis merupakan penyelesaian yang baik, namun masih ada beberapa masukan,
antara lain sebagai berikut :
1). Kepada
masyarakat yang mempunyai
permasalahan mengenai tanah lebih baik diselesaikan lewat mediasi
di Kantor Pertanahan tidak langsung
menggunakan jalur
pengadilan, karena besar
kemungkinan penyelesaian melalui pengadilan merugikan salah satu pihak,
2). Kantor Pertanahan sebagai
lembaga mediasi/mediator dapat memberikan penyuluhan-penyuluhan kepada
masyarakat tentang mediasi agar
masyarakat dapat menyelesaikan sengketa tanah melalui mediasi dan melaksanakan
mediasi dengan baik,
3) Pemerintah terutama
pembuat Undang-Undang untuk
membuat peraturan yang lebih spesifik lagi terhadap mediasi penyelesaian
sengketa tanah di Kantor Pertanahan.
DAFTAR PUSTAKA
https://www.pengadaan.web.id/2016/11/aspek-hukum-dalam-jasa-konstruksi.html
https://manajemenproyekindonesia.com/?p=22
https://www.international-arbitration-attorney.com/id/fidic-contracts-overview-of-the-fidic-suite/
https://sipilista.wordpress.com/2009/05/09/claim/
http://unitedgank007.blogspot.com/2016/01/modul-4-resiko-dan-klaim-kontrak.html
https://id.wikipedia.org/wiki/Penyelesaian_sengketa
http://eprints.ums.ac.id/61595/1/Naskah%20Publikasi.pdf
https://bplawyers.co.id/2017/02/22/selesaikan-sengketa-pertanahan-anda-melalui-mekanisme-mediasi/
Komentar
Posting Komentar